Oh ya, kami juga ingin menginfokan tentang apa saja yang kami lakukan di tahun 2017 dengan tim PERMAI BC yang sebelum nya:

Pudjasera 2017

PERMAI BC goes to BC Parliament

Alun-Alun 2017

Alun-Alun 2017

Oh ya, kami juga ingin menginfokan tentang apa saja yang kami lakukan di tahun 2017 dengan tim PERMAI BC yang sebelum nya:
Pudjasera 2017
PERMAI BC goes to BC Parliament
Alun-Alun 2017
Alun-Alun 2017
On Wednesday March 8, PERMAI BC was invited by members of the BC Parliament to visit the BC Parliament building in Victoria and witness the Legislative Assembly of British Columbia during the 2017 spring session of the 40th Parliament. As a growing minority group organization in Vancouver, we are excited to finally be recognized by the BC legislative as an established visible minority community organization in BC.
Jakarta 1927. Suhu politik memanas lagi. Anak-anak muda menggeliat dan kembali bergiat.
Penggagas Kongres Pemuda I, yaitu Moh. Jamin, Tabrani, Soegondo Djojopuspito sedang merencanakan Kongres Pemuda Indonesia II.
Soepratman, yang kala itu bekerja sebagai wartawan harian terkemuka Sin Po, sering menemui mereka di markas Indonesische Clubgebouw, di Jalan Kramat Raya 106. Ia lalu ikut menyebarkan ide-ide kemerdekaan dengan menjadi agen sejumlah majalah pergerakan seperti Persatoean Indonesia, Soeloeh Indonesia Moeda, Soeloeh Rakjat Indonesia dan Indonesia Raja.
Sebelumnya, ketika masih di Makassar dan tinggal bersama kakaknya, Soepratman telah menyerap konsep perjuangan Tiga Serangkai: Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (KH Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo dari berbagai surat kabar yang dibacanya. Menyadari bahwa pusat perlawanan ada di Jawa, Soepratman memutuskan hijrah ke Jakarta tahun 1924 dan menjadi wartawan agar pergaulannya dengan pemuda-pemudi nasionalis kian luas.
Suatu hari, ketika mereka sedang berbincang di atas rerumputan di depan Stasiun Gambir, Tabrani mengatakan pada Soegondo Djojopuspito bahwa Soepratman sudah menciptakan lagu, yang dikatakannya sendiri, merupakan lagu kebangsaan. Meskipun belum pernah mendengar, namun semuanya berjanji akan memberi kesempatan pada Soepratman memainkan lagu tersebut dalam Kongres Pemuda II.
28 Oktober 1928. Malam menjelang penutupan Kongres Pemuda II.
Soepratman berangkat lebih awal. Berpakaian rapi dalam balutan stelan jas putih dan sepatu putih mengkilap. Mengenakan peci hitam dan biolanya berada dalam genggaman erat tangannya.
Ia membagikan lirik lagu Indonesia Raya yang ditulisnya di atas kertas kepada para peserta kongres. Sebagian besar yang hadir adalah juga anggota pandu (pramuka). Mereka senang karena ada kalimat “jadi pandu ibuku” dalam syair, sekaligus cemas, karena keseluruhan syairnya dapat memunculkan ‘konflik yang tidak perlu’ dengan pemerintah Belanda. Setelah berembuk, akhirnya disepakati bahwa Soepratman tetap bisa membawakannya. Secara instrumental. Tanpa lantunan lirik.
Sesudah hasil konvensi dibacakan, setelah beberapa penggagas berpidato, sebelum Kongres Pemuda II resmi ditutup, Soegondo Djojopuspito mempersilakan Soepratman maju ke depan untuk mempersembahkan Ode gubahannya.
Pemuda berusia 25 tahun itu tampil dan menggaungkan nada demi nada.
Semua mengikuti dalam hening. Dalam kekhidmatan yang khusyuk.
Secara musikal, Soepratman memberi warna yang berbeda pada lagunya. Di dua quatrain pertama, yang mendeskripsikan Indonesia sebagai tanah air pujaan dan kebanggaan, nada-nadanya terdengar datar dan agung. Memasuki enam baris berikutnya, yaitu bagian puji syukur, doa serta janji, nada-nadanya berubah takzim dan mendayu kalbu. Pada quatrain ulangan (reffrain), nada-nadanya dilonjakkan menjadi dinamis, bergemuruh dan menggelegar.
Tak ayal, tepuk tangan membahana selepas Soepratman mengakhiri petikan dawai biolanya.
Saat itu juga, secara aklamasi, Indonesia Raya, diterima dan disetujui sebagai Lagu Kebangsaan.
Lahir di hari pasaran Jawa, Wage, 9 Maret 1903, sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara, Soepratman mendapat tambahan nama Rudolf, karena kecemerlangannya berlakon sebagai Rudolf dalam sebuah pentas drama. Soepratman memperoleh ketrampilan bermusik dari kakak iparnya, Willem Van Eldik. Sejak itulah, ia menjadikan musik sebagai caranya berbahasa dalam merefleksikan nasionalismenya. Dari petikan senar biolanya, Soepratman menghasilkan Mars KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Ibu Kita Kartini dan Di Timur Matahari.
Indonesia Raya sendiri diciptakan Soepratman tahun 1924.
Setahun setelah Kongres Pemuda II, Soepratman bertemu Soekarno, yang kelak menjadi Presiden. Soepratman menyerahkan teks lagu Indonesia Raya. Soekarno membacanya dan Indonesia Raya pun berkumandang kembali pada Kongres PNI kedua di bulan Desember 1929. Kali ini, peserta kongres berdiri dan ikut menyanyikannya mengikuti iringan biola Soepratman. Kongres yang diketuai Soekarno ini juga menerima, menyetujui dan kemudian menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Sungguh sebuah proses perumusan Lagu Kebangsaan yang cepat dan mulus.
Mulai dari situ, dengan cepat teks lagu Indonesia Raya tersebar luas, sampai ke pelosok Nusantara. Indonesia Raya yang susunan liriknya, dalam kesusasteraan, termasuk sebuah Soneta (sajak 14 baris) menjadi seloka sakti yang menyatukan dan merekatkan. Membuat Belanda, yang selalu ingin memecah-belah, tiba-tiba gerah dan menyadari betapa besarnya pengaruh Indonesia Raya bagi rakyat Indonesia. Lagu itu menyulut api perjuangan dan menjadi cambuk semangat bagi terwujudnya kemerdekaan.
Kata ‘moelia’ di bait reffrain bahkan diganti dengan ‘merdeka’. Sebuah pekik yang teramat sensitif di telinga Belanda. Maka pada tahun 1930, Indonesia Raya dilarang untuk diperdengarkan di manapun dan dalam kesempatan apapun. Gubernur Jenderal Jonkheer de Graeff beralasan, “Untuk apa ada Lagu Kebangsaan bagi sebuah bangsa yang, toh, tidak ada?”
Soepratman ditangkap dan diinterogasi. Larangan dan tekanan membuat gelombang protes malah bermunculan di sana-sini. Tak ada pilihan lain bagi pemerintah Hindia Belanda selain berkompromi. Soepratman dibebaskan dan Indonesia Raya boleh dinyanyikan, asalkan di ruangan tertutup, dengan maksud menjaga ketertiban dan keamanan.
Tahun 1938, Soepratman menyiarkan lagu ciptaannya berjudul Matahari Terbit bersama pandu-pandu di Malang, yang membuatnya ditangkap lagi oleh Belanda dan dipenjarakan di Kalisosok, Surabaya.
Dan pada tanggal 17 Agustus, 1938, di hari Wage sesuai hari kelahirannya, Soepratman wafat akibat penyakit paru-paru, di kediaman kakaknya di Jalan Mangga No 21, Surabaya.
Tujuh tahun kemudian di tanggal yang sama dengan hari wafatnya, 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Soepratman tak pernah melihat bangsa yang dicintainya ini berhasil mencapai kehendak tertingginya sebagai negara berdaulat dan Indonesia Raya menjadi lagu pengiring ketika Sang Saka Merah Putih dikibarkan pertama kalinya, sesudah pembacaan proklamasi kemerdekaan.
Soepratman adalah seorang visioner. Dengan kesadaran penuh dan rasa percaya diri yang tinggi, Soepratman jelas-jelas menulis Lagu Kebangsaan di bawah judul Indonesia Raya pada kertas yang dibagikannya di Kongres Pemuda II. Indonesia Raya diterima sebagai Lagu Kebangsaan jauh sebelum Indonesia ada sebagai negara. Menjadikan Indonesia telah memiliki Lagu Kebangsaan ketika merdeka masih berupa kosa kata impian, harapan, angan dan sesuatu yang beyond imagination. Soepratman menjadikan musik sebagai kanalnya ketika lepas dari penjajahan adalah suara bangsa yang harus digaungkan. Keyakinan tentang kemerdekaan tak pernah surut dalam diri Soepratman, seperti dituturkannya, “Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia Pasti Merdeka”.
Hiduplah Indonesia Raya!
*Special Thanks to: Erin Elliot, Kayvon Motamed, Berenice Lewis, Robert Anstey, Mutia Juristika
(Pinky Brotodiningrat)
Referencing to Wikipedia, the definition of Unity in diversity is a concept of “unity without uniformity and diversity without fragmentation” that shifts focus from unity based on a mere tolerance of physical, cultural, linguistic, social, religious, political, ideological and/or psychological differences towards a more complex unity based on an understanding”.
A unity without uniformity and diversity without fragmentation.
Something within this philosophy is what was stated by Prime Minister Justin Trudeau in the celebration of Canadian Multiculturalism Day, on 27 June 2016 past, at Ottawa, Ontario.
Trudeau stressed the fact that diversity has been a concrete base for the lives of Canadians, and have been the source of strength for the continuance of this country.
“I join Canadians across the country today to celebrate multiculturalism, and our long and proud tradition of inclusion and diversity. As Canadians, we appreciate the immense freedom we have to show pride in our individual identities and ancestries. No matter our religion, where we born, what color our skin, or what language we speak, we are equal members of this great country”.
As a country with the second largest landmass in the world, Canada is now home to 200 languages. The most numbers of arrivals have come from China. This is followed by India, Philippines, Pakistan, America, Britain, Iran, South Korea, Colombia, Sri Lanka, France, Morocco, Romania, Russia, and Algeria.
Canada now is home to 26,000 Syrian refugees. As other countries construct tall walls to prevent them from coming in, a beautiful gesture is shown by Justin Trudeau to welcome their arrival in Toronto by exclaiming, “You are home. Welcome Home”.
Life is surrounded by many different ideas, habits, traditions, beliefs, and understanding, which truly challenges the pores of our mind.
These exposures shape the personality and character of us being human, that will not be easily broken, through acquiring a wealth of perspective based on experience in finding, socializing and touching things that we may or may not yet understand.
If we believe that sugar is sweet, then one day we found sugar that is not sweet, then we may conclude that the substance is not sugar. However, with the experience of life in an environment of diversity, we will understand that sweetness can come not only from sugar.
In Indonesia herself, diversity is a root and not a new concept.
With more than 200 million people on 17000 different islands, the country has 737 different languages amongst 300 ethnic groups. So on traditional customs, clothing, fine arts, and heterogeneous local wisdom, as well as different flavors of food is where, truly, the strength of the nation of Indonesia stands.
There are no identical fingerprints between one person and another.
Not even an individual’s right hand and left hand is identical.
This includes the snowflakes on the whole of the earth.
Never is it identical.
And the language that transcends all boundaries, a language without knowing the alphabet and punctuation, is also a language, which is the language in understanding.
God keep our land glorious and free!
Happy Canada Day!
(Written by Pinky Brotodiningrat Translation M. Akbar Arief)
Click here for English Version
Pada tanggal 2-5 Maret 2016 yang lalu, Ridwan Kamil, Walikota Bandung, mengunjungi Vancouver untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara Globe 2016.
Sebuah ajang pertemuan terbesar dan paling berpengaruh di Amerika Utara, tempat berkumpulnya pengusaha dan para pejabat publik dari seluruh dunia untuk bersama-sama menuangkan gagasan dalam menjalankan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Pada kesempatan tersebut, Ridwan Kamil memaparkan bahwa sebagian besar konsepnya dalam membangun dan mengembangkan kota Bandung merupakan hasil dari pengalamannya selama 17 tahun menyambangi ratusan kota di berbagai belahan dunia.
Ia memang pernah memiliki semacam ‘sumpah’ bahwa sebelum usianya mencapai 40 tahun, kedua kakinya sudah harus menapak di 100 kota dunia.
Bandung, di bawah kepemimpinannya kini mempunyai banyak ruang publik dan taman-taman kota yang membuat warganya menjadi bahagia. Tak heran apabila penelitian terbaru menyebut bahwa Bandung, now, is the happiest society of Indonesia.
Usaha untuk menciptakan kebahagiaan dikombinasikan dengan tekhnologi terbaru memang merupakan visi utamanya, yang apabila terwujud, maka Bandung bisa menjadi contoh bagi 500 kota lainnya di wilayah Indonesia.
Selain menjadi pembicara dalam Globe 2016, Ridwan Kamil juga mengadakan pertemuan dengan beberapa perusahaan di British Columbia. Salah satunya dengan Trans Link sebagai penyelenggara transportasi publik. Melakukan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Vancouver yang bertempat di KJRI dan berdialog dengan beberapa orang dari komunitas Bandung, beberapa jam sebelum menuju Bandara untuk kembali ke Indonesia.
Di sela-sela kunjungan singkatnya, pria yang akrab disapa Emil itu, masih menyempatkan diri untuk menyalurkan hobi fotografinya di Stanley Park, merasakan naik Aqua Bus dari Science World sampai di Granville Island dan juga ‘nongkrong’ menyeruput secangkir susu coklat hangat di Café sambil memperhatikan lalu lalang orang dan kerlip lampu downtown di malam hari.
Semuanya lalu dituangkannya, entah dalam bentuk sketsa atau puisi, dalam sebuah buku kuning yang selalu dibawanya ke manapun pergi.
Bagi Ridwan Kamil, Vancouver adalah kota yang istimewa. Bersih dan teratur. Warganya juga murah senyum. Hal yang dinilainya serupa dengan karakter warga Bandung. Dan itulah yang membuatnya ingin menjadikan Bandung dan Vancouver sebagai Sister City, seperti diungkapkannya dalam wawancara eksklusif untuk TVRI.
Semoga!
(Pinky Brotodiningrat)
RIDWAN KAMIL
WISHES FOR BANDUNG AND VANCOUVER TO BE SISTER CITIES
On 2-5 March 2016, Ridwan Kamil, Mayor of Bandung, visited Vancouver to be a speaker in the Globe 2016 event. A sizeable and very influential meeting in North America, Globe 2016 is a place where businessmen and public servants from all over the world discuss plans for development that is environmentally friendly and sustainable.
In this opportunity, Ridwan Kamil reveals on how expanding and developing Bandung is based on his experiences in the past 17 years of visiting hundreds of cities in the many corners of the world. He has an ‘oath’ that before he reaches the age of 40, both of his feet must have stepped on a hundred cities of the globe. Bandung, under his leadership, now has multitudes of public spaces and parks that has made its residents joyful. Not surprising now that according to a recent study, which exhibited Bandung as being the happiest society in Indonesia.
Work in creating this happiness combined with utilization of the most recent of technologies is a part of the mayor’s vision, and if it is succeeded, will make Bandung a role model for more than 500 other cities in Indonesia.
Other than becoming a speaker in Globe 2016, Ridwan Kamil conducted a meeting with many companies in British Columbia. One of them includes Trans Link, a prime provider of public transportation. He also attended an event at the Consulate General of the Republic of Indonesia, which offered him the opportunity to meet residents in Vancouver of Indonesian and Bandung descent, prior to going to the airport to journey back to the archipelago.
Throughout his visits, the man nicknamed Emil is still able to utilize his time to conduct his hobby of photography in Stanley Park, experiencing the Aqua Bus in Science World, visiting Granville Island, and even ‘hanging out’, by slurping down a glass of warm chocolate milk in a café, whilst immersing himself with the humming of the passing foot traffic under the warm lights of downtown in the evening. He records everything, in the form of sketches or poems, etched in a yellow book which he grips everywhere he goes.
For Ridwan Kamil, Vancouver is a special city. Clean and orderly. Its residents are full of smiles. A value he values as similar to the people of Bandung. And that is why he believes that it is befitting for Bandung and Vancouver to be Sister Cities, as he exclaims in an exclusive interview with TVRI.
Here’s hoping!
(Translation by M. Akbar Arief)
Copyright 2021 PERMAI BC © All Rights Reserved